Etnik Tionghoa di Indonesia sudah ada sejak ratusan tahun. Mereka menyebar di seantero Indonesia, termasuk Padang. Namun, keberadaan mereka di tanah Nusantara masih sering belum diterima dengan baik. Di Indonesia, suku Tionghoa dikenal sebagai pedagang tangguh. Namun, mereka pun tak luput dari stereotip sebagai pelit, licik, dan eksklusif.
Bagaimana keberadaan orang Tionghoa di Padang dan hubungan mereka dengan orang Padang yang notabene mempunyai jiwa pedagang pula? Tema ini dikupas dalam buku yang aslinya sebagai disertasi program doktoral tersebut.
Buku ini terdiri dari lima bagian besar dengan 21 bab yang saling berhubungan, namun setiap bab bisa berdiri sendiri. Selain berdasarkan penelitian, penulis meramu pengalaman pribadi sebagai etnik Tionghoa yang pernah tinggal di Kota Padang. Secara umum, buku ini berhubungan dengan realitas sosial masyarakat Tionghoa di Kota Padang.
Orang Tionghoa sering menghadapi beragam permasalahan untuk dapat diterima sebagai orang Indonesia. Kondisi ini ditengarai terutama karena kebijakan segregasi kolonialisme Belanda masa lalu. Belanda memisahkan Tionghoa dari orang “pribumi”. Pemisahan antara lain bidang pekerjaan, permukiman, status hukum, dan politik. Karena itu, sulit menemukan saling pengertian dalam hubungan antara orang Tionghoa dan orang lokal, kecuali komunikasi yang berlangsung di “pasar” atau didorong motif ekonimi (hal 21).
Dunia sosial etnik Tionghoa di Kota Padang tidak terlepas dari cara- cara mereka berkomunikasi dengan masyarakat lokal. Komunikasi lewat bahasa Minang membuat etnik Tionghoa dapat diterima masyarakat lokal.
Kendati mengaku sebagai orang Padang, tidak berarti orang Tionghoa menafikan identitas etnik Tionghoanya. Identitas etnik diperoleh dari lahir dan tidak akan pernah berubah. Namun, identitas bagi orang Tionghoa yang hidup di tengah-tengah masyarakat non-Tionghoa sangat multidimensional. Dalam diri orang Tionghoa ada kebanggaan, ketakutan, keengganan, dan perjuangan. Itulah realitas yang harus dihadapi setiap kelompok pendatang minoritas (hal 43)
Persamaan elemen kebudayaan etnik Tionghoa dan Minang sama-sama beretos pedagang dan fleksibel. Tionghoa menggunakan bahasa Minang (Pondok) dan orang Minang menggunakan bahasa Minang. Perbedaannya, etnik Tionghoa menganut asas patrilinealitas dan non-Islam, sedangkan orang Minang menganut asas matrilineal dan Islam (hal 267).
Banyaknya persamaan elemen kebudayaan keduanya mendukung hasil penelitian-penelitian terdahulu bahwa hubungan antar-etnik Minang dan Tionghoa jauh dari konflik. Kondisi tersebut sejalan dengan prinsip komunikasi di mana semakin mirip atau banyak kesamaan latar belakang sosial budayanya, tambah efektif komunikasinya.
Bab terakhir berjudul Kenangan di Pasar Tanah Kongsi, menyajikan pengalaman penulis sebagai seorang Tionghoa di Kota Padang. Dia menyimpan memori suram saat Orba, dilarang menampilkan identitas Tionghoa, baik nama, penggunaan bahasa, agama, atau pelaksanaan hari raya. Di sisi lain diceritakan masa kanak-kanak yang manis, penuh kenangan bersama teman-teman sebaya, tanpa tersekat suku.
Epilog buku didedikasikan khusus untuk mengenang ibunda yang membawa pembaca pada situasi haru. Ibunya, etnik Tionghoa yang penuh perjuangan. Dia hidup berpindah-pindah mengikuti suami sebelum akhirnya sekeluarga menetap di Padang. Di Padang jualah ibunya dimakamkan.
Diresensi Ade Tuti Turistiati, Dosen Komunikasi Institut STIAMI
Sumber : Koran Jakarta