Institut Stiami, Bawaslu Dan Kpppa Adakan Rembuk Nasional Kaum Perempuan Se Indonesia 2017


Jakarta – STIAMINEWS – Dalam hal pemenuhan aspirasi  untuk memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia, kondisinya saat ini sangat tidak seimbang dengan jumlah laki-laki yang duduk dikursi parlemen untuk membicarakan dan membahas masalah-masalah publik yang mana tentunya mereka kurang peka terhadap kondisi dari perempuan Indonesia tersebut yang sebenarnya amat krusial. Sehingga hal ini membuat perempuan Indonesia kurang mendapat perhatian khusus dari pemerintah dalam hal kebijakan. Berlatar masalah tersebut dan juga untuk memperingati hari Ibu, Institut STIAMI bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menggelar ‘Rembuk Nasional Kaum Perempuan Se-Indonesia Tahun 2017’ dengan tema ‘Merekam Dialog dan Suara Hati Perempuan Tentang Negara, Politik dan Kesejahteraan’ di Gedung MPR Nusantara V Jakarta pada hari Senin, 18 Desember 2017.  Dalam kegiatan rembuknas ini juga diresmikan Pusat Studi Wanita Institut STIAMI dan Deklarasi Perempuan Tolak Politik Uang.  Permasalahan politik uang masih menjadi catatan penting dari pemilu ke pemilu. Politik uang dinilai tidak bisa terselesaikan hanya dengan pengaturan hukum namun harus dibarengi dengan gerakan sosial

Rektor Institut STIAMI, Dr. Ir. Panji Hedrarso, MM dan Ketua Bawaslu RI Abhan, SH, membuka acara dengan memukul alat musik jimbe secara bersamaan. Rektor Institut STIAMI berpendapat, rendahnya jumlah keterwakilan perempuan di parlemen bisa jadi karena pada kenyataannya tidak terlalu banyak perempuan yang terjun ke dunia politik. Banyak alasan mengapa hal itu terjadi. Bisa karena faktor kultur yang belum membuka ruang luas bagi keterlibatan perempuan di politik, bisa juga sebab adanya keterbatasan modal sosial, politik dan finansial bagi perempuan. “Hal ini menyulitkan perempuan dalam keikutsertaannya di ranah politik formal. Padahal, keterwakilan perempuan dalam politik formal dibutuhkan untuk menguatkan perjuangan akan adanya kebijakan yang lebih memperhatikan kebutuhan dan kepentingan perempuan,” tegas rektor. Ketua Bawaslu RI Abhan, SH, mengakui, keterlibatan kaum perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu masih minim. Meski sudah ada tindakan afirmasi terkait keterwakilan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah perempuan yang menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) masih sangat sedikit.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembesi yang menjadi keynote speaker dalam Rembuknas tersebut, mengungkapkan “Keterwakilan perempuan di parlemen sempat meningkat signifikan di era reformasi. Namun kini keterwakilan perempuan menurun pada Pemilu 2014”. Yohana menegaskan, dirinya akan mengupayakan agar perempuan Indonesia bisa aktif berpolitik, terutama di lembaga legislatif dan eksekutif. Sehingga saat ini, Indonesia perlu dukungan pendidikan politik bagi perempuan, baik sebagai pemilih maupun yang dipilih. Karena itu, pihaknya sudah mendesain perencanaan pendidikan politik bagi 68.881 perempuan di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota se-Indonesia. “Masyarakat, khususnya kaum perempuan, perlu diberikan pendidikan politik sebagai proses pencerahan dan pencerdasan bangsa. Namun, sering kali kelompok perempuan yang menjadi pimpinan atau wakil rakyat juga tidak mengerti tentang isu-isu perempuan, gender, dan anak. Oleh karena itu kita adakan pelatihan, kita dorong di tingkat peraturan 30% di legislatif pada Pemilu 2019," ujar Yohana.

Deklarasi Perempuan Tolak Politik Uang di pimpin langsung Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang diikuti oleh semua peserta yang sebagian besar merupakan perempuan.

Sementara itu, Direkrut Pascasarjana Institut STIAMI Dr. Taufan Maulamin mengatakan, saat ini partisipasi kalangan perempuan dalam dunia politik sangat dibutuhkan. Karena kalangan perempuan lebih dominan dari segi populasi, tapi kualitasnya belum terpenuhi. Oleh sebab itu, pihaknya berharap keterwakilan perempuan pada Pemilu 2019 mendatang bisa bertambah. Apalagi, Indonesia telah menetapkan angka keterwakilan perempuan sebesar 30%. Menurut Dr. Taufan, sedikitnya keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia karena dipengaruhi beberapa hal. Mulai dari di rumah, seperti keluarga tidak mendukung, sampai sosial kultural. Bahkan, dari hasil studi memperlihatkan bahwa dewan direksi yang dikelola perempuan biasanya lebih baik dan tingkat korupsinya rendah.

“Karena itu, perempuan jangan ragu berpolitik. Mereka harus mampu menunjukkan kualitas diri mereka setara bahkan lebih dari laki-laki. Perempuan harus memiliki pemikiran dan kelakukan yang baik agar ada kesan baik juga dari publik. Karena kualitas laki-laki dan perempuan dari kontribusinya tidak dipandang dari gender. Hal itu karena populasi perempuan lebih banyak,” pungkas Dr. Taufan. (Selvi)